Kejati: Kasus KUA Kediri Bukan Gratifikasi tapi Korupsi
JEJAK KASUS, SURABAYA - Polemik pungutan nikah yang dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA) Kediri ternyata mendapat perhatian Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur. Namun, pihak Kejati tak mau gegabah dalam menentukan langkah. Perkembangan kasus KUA di Kediri yang sekarang disidangkan di Pengadilan Tipikor dijadikan acuan oleh pihak Kejati.
"Kita lihat dulu perkembangan sidang yang kasus (KUA Kota) Kediri," kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim, Febry Ardiansyah, di kantor Kejati Jatim, Jumat (6/12/2013).
Febry menjelaskan, sebenarnya kasus pungli KUA Kota Kediri yang membelit kepalanya, Romli bin Sahari, lebih tepat masuk kategori korupsi, bukan gratifikasi. Sebab, pungutan yang terjadi dibarengkan dengan pembayaran resmi pencatatan nikah yang hanya Rp 30 ribu. Sehingga, seolah-olah pungutannya dianggap resmi. "Lebihnya dari biaya resmi itu masuk korupsi," katanya.
Tak peduli pemberian uang di luar biaya resmi dilakukan di rumah atau di kantor KUA, uang lebih tersebut menurutnya masuk korupsi. Apalagi, lanjut Febry, pencatatan nikah dan pungutannya terjadi pada saat hari libur. "Ini yang perlu diluruskan. Jadi bukan gratifikasi, lebih tepatnya korupsi," tandasnya.
Seperti diberitakan, sejak beberapa hari lalu para Kepala KUA dan penghulu se-Jatim menyatakan ikrar penolakan pelayanan pencatatan nikah di luar kantor dan hari aktif. Sikap itu reaksi dari terjeratnya Kepala KUA Kota Kediri, Romli, karena diduga melakukan gratifikasi uang pungutan pencatatan nikah di luar biaya resmi Rp 30 ribu.
Romli kini proses disidang di Pengadilan Tipikor Surabaya. Dalam dakwaan, hasil pungutan biaya pencatatan nikah tak resmi nominalnya beragam tiap mempelai. Setahun selama 2012, terkumpul uang Rp 36 juta yang dikelola oleh bendahara KUA. Romli dalam eksepsinya mengatakan, uang tersebut dikelola KUAnya untuk biaya operasional kantor sehari-hari, seperti membeli peralatan administrasi dan makan harian petugas dan pegawai KUA. [uci/pria sakti]
"Kita lihat dulu perkembangan sidang yang kasus (KUA Kota) Kediri," kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim, Febry Ardiansyah, di kantor Kejati Jatim, Jumat (6/12/2013).
Febry menjelaskan, sebenarnya kasus pungli KUA Kota Kediri yang membelit kepalanya, Romli bin Sahari, lebih tepat masuk kategori korupsi, bukan gratifikasi. Sebab, pungutan yang terjadi dibarengkan dengan pembayaran resmi pencatatan nikah yang hanya Rp 30 ribu. Sehingga, seolah-olah pungutannya dianggap resmi. "Lebihnya dari biaya resmi itu masuk korupsi," katanya.
Tak peduli pemberian uang di luar biaya resmi dilakukan di rumah atau di kantor KUA, uang lebih tersebut menurutnya masuk korupsi. Apalagi, lanjut Febry, pencatatan nikah dan pungutannya terjadi pada saat hari libur. "Ini yang perlu diluruskan. Jadi bukan gratifikasi, lebih tepatnya korupsi," tandasnya.
Seperti diberitakan, sejak beberapa hari lalu para Kepala KUA dan penghulu se-Jatim menyatakan ikrar penolakan pelayanan pencatatan nikah di luar kantor dan hari aktif. Sikap itu reaksi dari terjeratnya Kepala KUA Kota Kediri, Romli, karena diduga melakukan gratifikasi uang pungutan pencatatan nikah di luar biaya resmi Rp 30 ribu.
Romli kini proses disidang di Pengadilan Tipikor Surabaya. Dalam dakwaan, hasil pungutan biaya pencatatan nikah tak resmi nominalnya beragam tiap mempelai. Setahun selama 2012, terkumpul uang Rp 36 juta yang dikelola oleh bendahara KUA. Romli dalam eksepsinya mengatakan, uang tersebut dikelola KUAnya untuk biaya operasional kantor sehari-hari, seperti membeli peralatan administrasi dan makan harian petugas dan pegawai KUA. [uci/pria sakti]

0 Response to " Kejati: Kasus KUA Kediri Bukan Gratifikasi tapi Korupsi"
Post a Comment